REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sofiandy Zakaria, MSi*
Plagiarisme
yang terjadi di dalam dan di luar perguruan tinggi bukanlah endemi
ibarat penyakit yang berjangkit di dalam suatu daerah tertentu atau pada
suatu golongan masyarakat. Bukan pula merupakan pandemi seperti wabah
penyakit yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi
yang luas. Plagiarisme lebih merupakan patologi pribadi manusia, yang
mengumbar naluri hewaninya dalam mencapai tujuan untuk memuaskan
dirinya.
Ia menghalalkan segala cara dan mengabaikan segala
aturan main, etika pergaulan hidup dan hak-hak orang lain, baik yang
bersumber pada hukum formal suatu negara atau institusi, maupun
nilai-nilai universal keagamaan. Plagiarisme “menular” atau “ditularkan”
kepada orang-orang yang pertahanan egonya lemah. Seseorang plagiat
adalah orang yang memiliki ego yang rentan bahkan lemah dalam melihat
realitas, sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk mengembangkan dan
menyalurkan dorongan instingnya kepada hal-hal positif.
Demi
untuk mencapai prestise dan supaya dianggap berprestasi, dengan sadar ia
menerabas segala aturan yang berlaku, baik yang tertulis atau tidak.
Apabila merujuk kepada kamus Wikipedia, ia pun bisa jadi dikatagorikan
sebagai orang yang mengidap “sakit jiwa tanpa gangguan mental”.
Plagiarisme
adalah salah satu jalan pintas untuk mencapai tujuan jangka pendek ,
terutama ijasah dan gelar kesarjanaan dari jenjang yang paling rendah
sampai yang tertinggi. Plagiarisme juga adalah jalan pintas untuk
mencapai tujuan jangka panjang misalnya mendapatkan pekerjaan,
jabatan, kekuasaan dalam berbagai bentuk berbisnis, serta kegiatan
sosial lainya.
Dengan demikian secara kasat mata maupun
pikiran, plagiarisme mustahil dilakukan tidak untuk tujuan memperoleh
keuntungan pribadi atau sosial. Oleh karena itu pula, plagiarisme dapat
dilakukan oleh siapa saja yang mempunyai keinginan, kebutuhan, dan
kemampuan untuk melakukannya demi kesenangan dan kepuasan dirinya,
walaupun harus merugikan orang lain.
Issu plagiarisme muncul lagi
ke permukaan dan menarik perhatian banyak orang, karena diberitakan
oleh media massa, bahwa perbuatan tercela tersebut dilakukan oleh
seorang Presiden Hongaria Pal Schmitt. Desas-desus ia akan mengundurkan
diri mencuat pada hari jumat (30/3/2012), sehari setelah Semmelweis
University di Budapest mencabut gelar Doktornya. Namun, Schmitt tetap
bertahan dan berkeras ia “tak melihat hubungan “antara masalah plagiat
dan pekerjaannya (Kompas.com 3/4/2012).
Plagiarisme tidak muncul
ke permukaan seperti halnya wabah penyakit flu burung, HIV atau TB,
karena dilakukan secara diam-diam oleh orang perorang. Kalau pun
plagiarisme melibatkan orang lain, secara perorangan atau lembaga maka
keterlibatan mereka menjadi rahasia aib bersama yang harus ditutup
rapat-rapat.
Plagiarisme memang tidak mematikan dalam jangka
pendek, cuma memalukan dan semakin memperhatinkan untuk kalangan
akademisi di perguruan tinggi pada khususnya, dunia pendidikan pada
umumnya, yang menjunjung tinggi prinsip nilai -nilai kejujuran,
kepercayaan, keadilan, kesetaraan, penghargaan, dan kebebasan
berekspresi dan toleransi. Pembiaran tindakan plagiarisme yang
dilakukan individu-individu tertentu, bisa menjelma menjadi tindakan
biasa yang dilakukan kelompok, golongan bahkan massa atau organisasi
tertentu.
Sanksi akademik dan tindakan hukum terhadap para
pelaku plagiarisme tidak akan membuat malu atau jera para pelakuknya.
Banyak universitas yag telah melakukan upaya preventif dan tindakan
represif, untuk mencegah berkembangnya wabah plagiarisme lebih luas.
Upaya yang hanya normatif – seperti pacta integritas atau pernyataan
keorisinalan karya ilmiah yang dibuat mahasiswa yang ditandatangani di
atas materai – belumlah cukup.
Perilaku jujur dan saling
menghargai hak-hak orang lain merupakan proses pembentukan karakter
individu, kelompok, golongan atau bangsa yang harus dibangun sejak dini
bukan hanya di perguruan tinggi, tapi juga di lingkungan keluarga.
Peraturan dan perundang-undangan atau produk hukum terkait baru bisa
ditegakkan, apabila lembaga-lembaga yang bertanggung jawab mampu dan
mau mewujudkan kaidah-kaidah normatif tersebut dalam kenyataan hidup
sehari-hari. Bukan sebaliknya diserahkan kepada parameter etis
perorangan.
* Penulis adalah Dosen Tetap FISIP UMJ dan Dosen Tidak Tetap Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Plagiarisme Bukan Endemi atau Pandemi